Senin, 26 Oktober 2015

Profesional, Eksklusif dan Rasa Takut (2)


Catatan Ringan 'Wartawan Pensiun'

Kawan-kawan Seksi Wartawan Olahraga PWI Jaya, angkatan di bawah dan di atas saya, foto di depan GBK Jakarta

            Sebagi reporter magang, keberhasilan dalam mengemban penugasan adalah poin tersendiri. Paling tidak selamat dari ancaman didrop, akibat beberapa kegagalan penugasan yang diberikan koordinator liputan (korlip) sebuah penerbitan surat kabar di Surabaya. Maka itu, sedikit nabrak etika jurnalistik gak apalah, toh saya pikir saat itu sebagai reporter pemula, gak ada yang tahu kecuali Tuhan, bagaimana proses untuk memperoleh berita eksklusif. Belum lagi. membayangkan wajah korlip, bahkan bos yang menginginkan juga keberhasilan berita yang saya kerjar. Pasti mereka akan marah besar dan kecewa berat, karena reporternya gagal memperoleh berita bagus, yang katanya berita kelas satu, dan sudah diplot di halaman 1, bahkan head line (HL). Waduh...., berat rasanya kaki melangkan ke tempat kejadian perkara (TKP), karena takut gagal.
          Tahun 1982, di sebuah sekolah menengah atas di Bojonegoro, akan berlangsung serah terima jabatan (sertijab) kepala dinas pendidikan. Beritanya sudah menyebar di beberapa media kala itu. Namun, bagaimana dan kapan proses sertijab tersebut? Hanya koran saya yang tahu.
           Berangkat usai subuh dari Surabaya menuju Bojonegoro ke TKP. Saat itu jalan raya belum seramai sekarang. Jam delapan pagi sudah nyampai tempat yang dituju. Tiga puluh menit kemudian acara sertijab dimulai, di suatu ruang rapat guru di sekolah tersebut. Acaranya sederhana dan tertutup untuk umum. Saya tidak diperbolehkan masuk, meski saya sudah memperkenalkan diri status saya. Sayapun mulai panik, khawatir tidak berhasil memperoleh berita pesanan bos itu. Di era tersebut, berapapun besarnya penyelewengan, terasa aib yang luar biasa.
           Saya putar otak, bagaimana saya bisa memperoleh informasi tentang sertijab yang tidak kering. Artinya, saya harus bisa menggambarkan suasana serah terima tersebut, siapa saja yang ada di ruang itu, raut wajah 'si tersangka' dan sebagainya, sementara saya berada di luar ruangan tempat acara. Ternyata, Tuhan masih memberikan petunjuk, dan benar kata temen-temen saya, bahwa memperoleh berita eksklusif atau foto bagus, sedikit banyak ada unsur 'keberuntungan'.
          Kala itu belum banyak sekolah yang berdinding batu bata. Kebanyakan memakai sesek, atau dinding bambu yang dilapisi kapur tebal. Kendala lain muncul. Acara sertijab itu tidak memakai pengeras suara, maka terpaksa...., sekali lagi terpaksa. Saya lubangi tuh dinding dengan bolpoin, cukup untuk mengintip dan sedikit mendengar suara acara tersebut. Dari lubang itu, saya bisa melaporkan warna dan suasana acara tersebut. Berapa orang yang hadir, siapa saja, dan fokus kepada figur yang diganti dan yang mengganti. Pokoknya suasana dan apa yang terjadi dalam sertijab itu ketangkap semua lewat lubang sebesar bolpoin itu. Dan bagaimana bisa memperoleh nama-nama yang menghadiri acara sertijab, sekaligus jabatannya? Semua saya peroleh dari pesuruh sekolah tersebut, yang sepanjang acara, keluar-masuk ruangan, sambil membawa makanan dan minuman untuk yang hadir.
          Walhasil, liputan saya tutup dengan wawancara pejabat pengganti yang baru, karena pejabat yang diganti langsung ngabur dengan mobil dinasnya. Pulang kekantor dengan membawa berita sesuai pesanan bos, rasanya nikmat sekali, meski bus yang saya tumpangi penuh, dan saya berdiri selama dua jam, sebelum memperoleh tampat duduk.(*)


Ditulis oleh: Sulaiman Sayid 
.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar